Investor Belum Mendapat Kepastian
Kebijakan Pemerintah dalam rangka mempercepat pelaksanaan pembangunan infrastruktur belum ampuh untuk bisa “meminang” investor.
Oleh TJ. Bono
PEMBENAHAN kelembagaan, dan regulasi, yang dilakukan Pemerintahan SBY-Kalla untuk mendorong masuknya investasi di bidang infrastruktur memang telah mendapat penilaian positif. Salah satunya, datang dari Andrew Steer, Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia.
Hal tersebut, kata Steer, terlihat dari dikeluarkannya Peraturan Presiden (Perpres) No.65 Tahun 2005 tentang Komite Kebijakan Percepatan Pembangunan Infrastruktur (KKPPI)/, dikeluarkannya Perpres No.67 Tahun 2005 tentang Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur, dan Perpres No.65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Setidaknya, “mantra” Pemerintah sudah mulai kena di hati lembaga keuangan. Namun, pembenahan kelembagaan dan regulasi tersebut belum bisa dibilang ampuh. Sebab, kata Wakil Presiden Bank Pembangunan Asia C Lawrence Greenwood, perlu dipastikan apakah kebijakan yang belum lama dibuat itu sudah betul-betul dilaksanakan. Terlebih lagi, jika mentalitas birokrat belum berubah.
Lawrence mengusulkan adanya pola pikir yang baru dari birokrasi pemerintah, dan supaya para birokrat meningkatkan kapasitasnya. Selain itu, manajemen resiko juga diatur sedemikian rupa secara transparan, efisien, dan hati-hati.
“Yang terakhir, pemerintah harus menciptakan kepastian bagi investor,” kata Lawrence seperti dikutip Kompas (2/11).
Kepastian, seperti yang dinantikan Lawrence, juga dinantikan pula oleh Dimitri Pantazarus, Regional Director of Investment EMP Bahrain. Dalam pameran Indonesia Infrastructure Conference and Exhibition (IICE), seolah mewakili para calon investor dari dalam dan luar negeri lainnya, Dimitri mengungkapkan “kerinduan” mereka akan adanya kepastian dari pemerintah. Calon investor meyakinkan Pemerintah bahwa mereka tidak sedang basa-basi. Ada keinginan untuk menggarap proyek yang ditawarkan.
“Kami berada di sini (IICE-red) karena tidak kehilangan kepercayaan pada Indonesia,” ujar Dimitri. Sebab katanya menyimpulkan, Indonesia mempunyai peluang yang fantastik dalam proyek infrastruktur, sekaligus kebutuhan sangat besar untuk itu.
Memang, menurut Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto, pada hari pertama pameran infrastruktur itu dibuka, sedikitnya tiga calon investor sudah menyatakan minat dan keinginannya pada beberapa proyek yang ditawarkan Departemen PU. “Yang tertarik memang banyak sekali, yang sudah membuat studi dan nota kesepahaman juga banyak, tetapi yang harus dilakukan adalah mengikuti lelang terbuka,” ujar Kirmanto.
Akan tetapi, belum ada kata sepakat. Calon investor masih menunggu kepastian. “Jadi posisinya investor berminat, tetapi mereka menunggu sampai kita selesai dengan pekerjaan rumah kita,” timpal Sofjan Wanandi Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia.
Pekerjaan rumah pemerintah, antara lain, soal kepastian pembebasan lahan dalam proyek jalan tol, kepastian rencana proyek kelistrikan, jaminan pemerintah atau pembagian resiko dalam proyek kelistrikan, koordinasi antara departemen dan PLN sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan, perbedaan aturan di setiap daerah dalam proyek air minum, kejelasan kebijakan gas untuk domestik dan ekspor, dan dihilangkannya duopoli oleh BUMN.
*
Strategi itu pula yang dilakukan oleh China pada saat ini, dan sedang dicoba oleh pemerintah Indonesia. Seperti disebut di awal tulisan ini, pemerintah telah mengeluarkan regulasi dan melakukan pembenahan kelembagaan terkait soal investasi di bidang infrastruktur.
Akan tetapi, kata ekonom Didik J Rachbini, persoalannya adalah, apakah implementasi strategi dan kebijakan investasi di bidang infrastuktur yang telah dibuat pemerintah itu akan bisa berjalan efektif di lapangan? Didik berpendapat, regulasi dan pembenahan kelembagaan yang dibuat pemerintah sudah cukup memadai, cukup komprehensif. Namun, itu baru sebatas konsep. “Masih berfungsi seperti blue print saja, yang perlu tindak lanjut manajemen pemerintahan di lapangan,” ujarnya (Kompas, 10/11).
Dicontohkan olehnya, pembangunan jalan tol menuju Bandara Surabaya yang sampai saat ini belum rampung juga. Terjadi praktek percaloan dalam pembebasan lahan di sana, sehingga harga tanah melonjak tinggi, disebabkan ulah para pihak yang tidak bertanggung jawab. “Jika dahulu terjadi pemerasan kepada rakyat, sekarang sebaliknya. Negara menjadi mandul dan tidak mengembangkan fungsi publiknya secara baik,” tandas Didik.
Contoh lainnya, masih di wilayah Jawa Timur, dalam pembangunan jalur selatan, jalan yang menghubungkan Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Pemerintah Kabupaten Malang berupaya keras melakukan pembebasan lahan, namun upaya tersebut tidak didukung oleh kinerja pemerintahan pusat. “Pembangunan tersebut (akhirnya) terhenti,” ungkap Didik.
Jadi, kata Didik, kini saatnya bagi pemerintah untuk bergerak dalam tataran praktis strategis, bukan lagi di tataran konsep. Cetak biru pembangunan infrastruktur sudah cukup memadai, cukup komprehensif, tinggal masalahnya pada implementasi. Di sisi lain, seluruh elemen bangsa juga wajib mendukung apa yang sudah diupayakan pemerintah.
Dalam pameran infrastruktur IICE 2006 yang berlangsung selama 3 hari (1-3 November 2006), ditawarkan 10 model proyek senilai 4,4 Miliar dolar AS. Disamping itu, pemerintah juga menyiapkan 101 potensi proyek lain senilai 14,7 Miliar dolar AS. Proyek yang ditawarkan, antara lain, jalan tol, kelistrikan, pemipaan gas, transportasi, dan telekomunikasi.
Presiden SBY menekankan bahwa dalam beberapa tahun ke depan, pemerintah membutuhkan sekurangnya 22 Miliar dolar AS untuk pembangunan infrastruktur sektor energi, jalan, pelabuhan, bandara, perumahan, air bersih, dan lainnya. Pendanaan proyek-proyek tersebut, kata Presiden, sebagian besar akan berasal dari swasta.
“Saya telah menginstruksikan semua menteri yang terkait dengan persiapan dan implementasinya untuk memastikan proyek berjalan dari awal sampai selesai secara lebih profesional dan transparan, serta menguntungkan bagi semua pihak,” kata Presiden kepada para wartawan.
Namun demikian, “mantra-mantra” untuk membuat para investor jatuh hati, mau berinvestasi di negeri ini, masih perlu disempurnakan. Masih terlalu dini untuk mengatakan, “ini sudah cukup.”
*
CERITA di bawah ini kiranya dapat membuka mata para pengambil kebijakan investasi. Agung Pambudi Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah bertutur, dalam acara Indonesia Regional Investment Forum (IRIF) di Jakarta awal November lalu, sejumlah gubernur dan bupati dengan bangga menginformasikan tentang situs internet (website) milik daerahnya. Mereka juga berkali-kali meminta investor asing dan nasional agar selalu mengakses situs-situs itu untuk mendapatkan data lebih lengkap.
“Selang satu jam kemudian, situs internet milik belasan pemerintah daerah itu coba diakses. Hasilnya, sungguh menyedihkan. Data potensi yang disajikan sangat makro dan rata-rata dikeluarkan tahun 2002-2004,” ungkap Agung.
Dari cerita di atas, pemerintah daerah sepertinya menganut asas “nafsu besar tenaga kurang”. Mereka ingin sekali menjaring investor, menawarkan potensi daerahnya, tetapi data dan informasi yang disajikan sangat jauh dari harapan pelaku usaha.
Agung menambahkan, ada pejabat daerah yang mengatakan, “Kami memiliki potensi ikan yang luar biasa.” Akan tetapi ketika diminta menjelaskan, pejabat tersebut tidak dapat menguraikan secara menyeluruh mengenai potensi tersebut.
Dua pekan sebelumnya (pertengahan Oktober 2006 –red) saat mengikuti pameran investasi yang digelar Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) di Makasar, Agung juga menemukan kasus serupa.
“Ada penjaga gerai yang tidak mampu menjelaskan setiap pertanyaan pengunjung. Dia katakan bahwa dirinya sebatas menjaga gerai. Mereka yang punya potensi investasi tidak pernah berada dalam gerai,” ungkap Agung (Kompas, 9/11).
Dari sedikit cerita di atas, kiranya kita dapat mencermati apa-apa yang harus dibenahi dan dilengkapi untuk dapat membawa masuk investor ke negeri ini. Bicara di tataran konseptual saja tidaklah cukup. Investor itu bak gadis cantik jelita yang sedang diperebutkan pemuda-pemuda kurang tampan lagi miskin. Jadi, butuh usaha keras untuk sukses bersaing meminangnya.